QUO VADIS: PERAN MEDIA DI MASA EPIDEMI “SARANA INFORMASI ATAU MALAH MERESAHKAN?”

Oleh: Lina Novianti Nursa’bani 

    Virus Sars Cov-2 atau yang familiar diingatan kita adalah virus covid-19 mulai merajalela ke Indonesia pada bulan maret, hal ini langsung dibenarkan oleh presiden Joko Widodo dan menteri kesehatan pada saat itu pak Terawan. Momentum ini pun langsung menjadi konsumsi publik untuk diberitakan di berbagai lini massa, salah satunya media yang berlomba-lomba memberitakan mengenai adanya virus yang berasal dari Wuhan, Tiongkok ini. Awalnya pemberitaan mengenai virus ini biasa saja, yang tadinya pemerintah tiongkok meyakinkan kepada publik bahwa virus ini tidak berbahaya. Tapi, nasi sudah menjadi bubur virus ini malah menyebar ke beberapa Negara khususnya Indonesia sendiri. Quo vadis: peran media terkait pemberitaan epidemik di kondisi saat ini? Sarana informasi kah atau malah meresahkan?. 

    Tiongkok memang Negara yang otoriter kebebasan pers selalu dipantau baik dari segi media ataupun dari segi lainnya, tapi kalau di Indonesia yang bisa dikatakan relatif lebih bebas apakah jadinya akan lebih baik? Hmm, kayanya belum tentu sih karena banyak berita yang enggak bermanfaat atau munculnya pemberitaan hoaks yang malah jadinya akan meresahkan masyarakat Indonesia sendiri bukannya malah mengedukasi ataupun malah pemberitaan yang memunculkan misinformasi terhadap pembacanya dan akan berefek salah pemahaman yang akan menimbulkan kabar burung yang kurang jelas. mungkin salah satu penyebabnya adalah permasalahan pada saduran yang kurang jelas terkait suatu permasalahan berita yang akan dipaparkan. Salah satunya tidak dikajinya secara mendalam terhadap berita yang akan disadurnya contohnya pada berita bahwa virus covid-19 merupakan senjata biologis china, emang iya? Bukannya berita ini merupakan masih asumsi belaka atau hanya masih sekedar simpang siur yang masih belum jelas kridebelitas kebenarannya? Kita juga jangan suudzhon dulu yah kawankawan terhadap pemberitaan seperti ini bisa jadi adanya pemberitaan seperti ini hanya akan menimbulkan polemik di masyarakat yang menerka-nerka bahwa covid-19 itu sebenarnya hanya pengalihan isu dari segelintir pemangku jabatan.

     Tidak hanya itu masyarakat seringkali disuguhi berita-berita dari media yang tidak jarang memperbesar ataupun memperkeruh keadaan mengenai virus corona ini. Bahkan, stigma yang selalu digaungkan oleh media terkait virus corona ini lebih kuat mendasari adanya penyakit yang memunculkan panic attack bahkan anxiety disorder ditengah masyarakat. Panic attack atau dalam bahasa Indonesia sendiri, Serangan panik (panic attack) adalah munculnya rasa takut atau gelisah berlebihan secara tiba-tiba (Alodokter.com). Seperti halnya pada kasus panic buying yang terjadi pada beberapa bulan yang lalu setelah merebaknya kasus positif covid-19 di Indonesia seluruh super market yang ada di beberapa tempat di Jakarta ludes diserbu masyarakat karena Secara psikologis, merebaknya virus corona menguatkan pikiran kita akan kematian. Ketika kita diingatkan tentang kefanaan tersebut, maka orang bisa menjadi lebih impulsif, termasuk impulsif pada membeli barang (cnnindonesia.com), apalagi informasi keliru, tidak akurat dan tidak meyakinkan dari media yang berkembang di tengah ancaman virus mengakumulasi rasa takut setiap orang terhadap tindakannya dalam membeli barang. Di lain sisi, media juga sering menyajikan berita dengan mendahulukan korban jiwa “ hari ini, jumlah korban jiwa bertambah menjadi 999+ atau 10 warga dari kota potterhead positif corona setelah berkerumun di jalan”. Dalam hal ini pun, akan membuat perasaan seseorang menjadi cemas, khawatir dan gelisah karena terfokus pada satu sudut pandangan yang akan membuat panik dan mengalami tekanan. Jika hal ini terus selalu diberitakan oleh media apa jadinya akan baik pada kesehatan psikis seseorang?. Tidak 

    Untungnya, stigma negatif ini tidak terus selalu digaungkan oleh media dan status diberlakukannya lockdown kembali dilonggarkan dengan diganti menjadi new normal. hal ini tidak serta merta akan membuat masyarakat mengalami anxiety disorder. Entah apa jadinya jika, stigma ini masih digaungkan dan dikolaborasikan dengan status lockdown yang menganjurkan untuk stay at home berlangsung?  

    Perihal tersebut seharusnya digaungkan media dengan keras, Mayoritas media terkait penyajian berita hampir persis sama semua, mulai dari topik hingga isi berita, kurang lebih yaa seperti itu. 

    Kini, media pun selain menjadi referensi informasi bagi kita, berita yang disajikan juga menjelma menjadi sebuah hal yang menakutkan terhadap psikologi seseorang dan mungkin saja dapat menimbulkan kepanikan bahkan kecemasan yang berlebihan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEPUTUSAN REKTOR UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

Pelantikan & Upgrading HMJ MPI Kabinet Transformatif Periode 2024-2025

Internalisasi Core and Value ( INCOREVAL ) 2023